Chapter 13
Chapter 13
BAB 13 I Tubuhnya Hanya Sekecil Polong
Willow menatap bingung pada televisi yang tidak lagi berada di atas nakas. Dia melirik ke arah Via yang terlihat sibuk belajar cara merajut kaus kaki bayi. Gadis itu sedang konsentrasi penuh dengan gulungan benang di sekitar dan buku-buku belajar merajut berserakan di lantai.
“Kemana televisi yang ada di sana?” Willow mendekat dan mengambil salah satu benang berwarna merah muda.
Bahu Via mengedik sambil terus berupaya menjalin benang satu per satu.
“Aku menaruhnya di atap,” jawab Via tanpa menoleh.
Wajah Willow berkerut bingung karena benda itu masih berfungsi dengan baik. Di rumah tua itu tidak ada hiburan untuk menghabiskan waktu kecuali menonton televisi, sehingga dia bingung hendak melakukan sesuatu. 1
“Ada apa dengan televisi itu? Kemarin masih baik-baik saja.” Willow melirik ke luar jendela saat dia mendengar suara mustang yang parkir di halaman, sepupu laki-lakinya pasti sudah tiba untuk mengantar bahan makanan pesanan mereka.
“Entahlah, tidak menyala pagi ini,” kata Via dengan suara datar, enggan menjelaskan.
Melihat Via yang sibuk sendiri, Willow pun memutuskan keluar menyambut Asher yang berjalan menuju teras.
“Sepupuku sudah tiba,” katanya sembari membuka pintu.
Tidak ada suara dari Via yang konsentrasi dengan jarum dan benang.NôvelDrama.Org content.
“Hei, Ash,” sapa Willow menyambut kedatangan sepupunya.
Asher tersenyum hangat dan masuk ke dalam rumah. Dia berhenti di depan pintu dan menoleh ke arah Via yang duduk begitu anggun di atas kursi goyang.
Untuk sesaat Asher terdiam, matanya tidak lepas dari Via yang tampak tenggelam dengan dunia sendiri bersama gulungan benang dan jarum di tangan.
“Kau membawa pesananku?” tanya Willow yang berjalan lebih dulu menuju dapur. ?
Beberapa detik Asher menulikan telinga, tampak fokus pada Via dengan kening berkerut mempelajari pola di buku.
“Ash!”
Suara Willow yang meninggi menyadarkan Asher kembali. Dia berdehem dan mengikuti sepupunya menuju dapur, walau ekor mata tetap mengawasi Via yang sama sekali tidak sadar dengan sekitar.
“Apa itu teman Disya?” tanya Asher begitu sampai di sebelah sepupunya, menaruh kantung
belanjaan di meja.
“Iva, namanya Via. Dia wanita yang kuceritakan ingin bekerja di penginapan. Apa kau lupa?” Willow mendelik tajam pada Asher yang menggaruk telinga.
Dia benar-benar tidak mendengarkan saat Willow menjelaskan malam tadi. Jika saja dia tahu wanita itu secantik bidadari, pastilah dia akan segera datang pagi ini. 1
Asher meringis dan memasang senyum penuh pesona yang biasa dia tebar saat membuat kesalahan.
“Mungkin hanya terlewat saja.”
Kepala Willow menggeleng pelan, dan perhatiannya kembali pada belanjaan di atas kitchen island.
“Kau tidak membeli crackers?” tanya Willow setelah membongkar semua belanjaan yang Asher bawa.
“Ah, benarkah. Mungkin aku lupa,” kata Asher beralasan karena dia memang tidak memasukan crackers dalam list.
“Ash, Via tidak bisa makan kalau tidak ada crackers. Dia butuh crackers untuk morning sickness,” jelas Willow terlihat kesal dengan kepikunan sepupunya.
“Morning… sickness?” Asher merasa dia salah pendengaran.
“Iya, Via sedang hamil, dia butuh makanan asin seperti crackers sebelum menelan apa pun.”
Asher terdiam, memproses informasi yang baru saja dia dapat. Kepalanya menoleh kembali ke arah ruang tengah dimana Via berada, tetapi dari tempatnya berdiri dia tidak bisa melihat gadis itu. Ada sedikit rasa kecewa, mengetahui bidadari itu sedang hamil dengan pria lain.
“Apa yang kau lakukan?” desis Willow saat melihat sepupunya mencari-cari keberadaan Via.“ Bersikaplah sopan, Ash.”
“Aku hanya ….” Asher terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak seharusnya dia melakukan barusan. “Ehem … maksudku, tidak ada apa-apa. Ada lagi yang perlu kubantu?”
Willow mengibaskan tangan ke udara.
“Tidak ada, ini cukup, hanya crackers yang tertinggal. Apa kau mau kuperkenalkan dengan tuan rumah? Rasanya tidak sopan bila tidak menyapa.”
Lagi-lagi Asher menggaruk telinga, entah mengapa dia merasa gugup. Sembari mengedikan bahu, dia mengikuti Willow ke ruang tengah.
“Via, perkenalkan ini sepupu yang kuceritakan kemarin,” ujar Willow yang berdiri di depan Via.
“Asher Ackerson.” Asher mengulurkan tangan ke arah Via.
“Viania Harper,” balas Via menyambut uluran tersebut.
“Maaf kan aku, tetapi ada urusan yang harus kukerjakan sehingga tidak bisa berlama-lama,” kata Asher terlihat buru-buru hendak keluar.
Via bermaksud untuk berdiri tetapi Willow menahannya.
“Biar aku saja yang mengantar Asher ke luar.”
Sebuah senyum tipis tersungging di wajah rupawan Via, membuat Asher terperangah sesaat.
“Sampai jumpa nanti, Via,” ujarnya berpamitan.
Keduanya berjalan keluar. Willow mencubit Asher yang berdiri di dekat mustang.
“Jangan menatapnya seperti itu,” desis Willow terdengar gemas.
“Ouch, sakit,” geram Asher sembari mengelus lengan kiri yang berdenyut. “Aku tidak melakukan apa- apa,” kilahnya.
“Apa kau pikir aku buta? Jelas-jelas kau tertarik dengan wanita hamil!”
Asher mendelik pada Willow yang nyaris meninggikan suara.
“Dia wanita cantik, wajar saja aku tertarik. Hamil atau tidak, wajahnya tidak berubah jadi Ogre. Dia tetap cantik,” ujar Asher membela diri.
Willow menarik napas dan berdoa untuk sabar.
“Dia sedang patah hati sehingga lari ke Moines, jadi kumohon untuk tidak mengganggunya Ash. Kau memang pria idaman wanita di seantero Moines, tetapi kumohon untuk tidak mengganggu wanita satu ini.”
Asher menggeleng pelan dan tersenyum kecut pada sepupunya.
“Aku tidak akan melakukan apa pun, Willow. Aku janji.”
I
Asher mengangkat jari kelingkingnya ke udara dan Willow menautkan jari mereka.
*
0
“Pinky Promise,” ucap keduanya bersamaan.
“Jangan lupakan crackers untuk Via, Ash,” ujar Willow sebelum Asher benar-benar pergi. 1
Pria itu mengangguk, dan berjanji akan kembali dua hari lagi.
Via menatap buku-buku di sekitar dengan pandangan bingung. Dia kesulitan meluruskan pola buatannya menjadi kaos kaki. Bukannya kaos kaki yang dia buat, melainkan sesuatu berbeda, berantakan tanpa aturan. Bahkan Via heran, bagaimana bisa kaos kaki itu berubah pola menjadi topi kurcaci berbentuk segitiga. 2
Semangat membara yang pagi tadi berubah menjadi amarah, dia melempar benang di tangan dan menangis tiba-tiba. Perasaannya kacau balau, semua terlihat salah di mata, bahkan dia
merutuki diri karena tidak mampu membuat pola.
Saat Willow kembali masuk ke rumah, Via pura-pura sibuk dengan rajutan tanpa bentuk yang tidak lama lagi akan berada di tong sampah. Dia menghela napas frustrasi dan merebahkan diri di atas kursi. Lagi-lagi ingin menangis tanpa alasan jelas melatarbelakangi.
“Willow, aku ingin istirahat di kamar,” kata Via sembari bangkit dari kursi.
Dia melirik ke dapur tempat favorit Willow menghabiskan waktu mencoba resep baru. “Ok!” seru gadis muda itu tanpa menoleh ke ruang tengah.
Via menghela napas lalu bergegas menuju kamar, dia hendak berbaring namun terhenti saat melihat selembar foto Sean tergeletak di lantai. Sepertinya dia lupa membakar yang satu ini.
Tangan Via bergerak cepat mengambil foto yang terjatuh, bermaksud merobek menjadi dua, tetapi gerakannya terhenti saat matanya dan mata Sean pada figura tersebut beradu. Jemari Via mengelus lembut wajah rupawan Sean di atas kertas itu. Masih ada cinta bergetar di hati yang tidak bisa dia bohongi.
“Sungguh bodoh,” bisik Via dengan bibir bergetar menahan tangis. “Kau sungguh bodoh, Via. Benar- benar bodoh,” tangisnya, tidak bisa merobek selembar foto yang tersisa. Satu-satunya kenangan Sean yang Via punya. 1
Tubuh Via luruh ke lantai, terduduk dengan pandangan redup menatap selembar photograph berisikan kenangan Sean yang terakhir. Sebelah tangan Via menyentuh perut, sedang satunya menggenggam foto.
“Apa yang akan kukatakan pada anak ini, Sean? Apa yang harus kuceritakan tentang ayahnya pada anak ini,” bisik Via dengan suara parau.
Tidak mungkin Via mengatakan pada anak mereka bahwa ayahnya tidak menginginkan keberadaannya dan meminta ibunya membunuh anak itu walau masih berbentuk janin.
“Ukuran tubuhnya hanya sekecil polong, Sean. Dia masih sangat rapuh butuh perlindungan. Mengapa harus kita membunuhnya? Apa kau tidak mau dia tumbuh?”
Via terisak sembari mengusap perut.
“Kalau kau memang tidak mau bersamaku, seharusnya katakan saja. Jangan membunuh anak ini, aku tidak menginginkan pernikahan bila itu yang kau takutkan, aku hanya ingin anak ini hidup.”
Kali ini Via merasa gila berbicara pada selembar foto tak bernyawa. Tangisnya pecah diselingi senggukan.
Via dapat merasakan yang ibu rasa semasa Via kecil. Mungkin ibu juga sama seperti Via saat ini ketika ayahnya menolak untuk berada dalam hidup mereka, bahkan ayah Via meninggalkan Ibu hanya untuk menikahi wanita yang lebih muda. Dia merasa takdir tidaklah adil karena nasib sama terulang kembali. Dan: Bibi Azura pasti memiliki amunisi untuk lebih membencinya
bila tahu keadaan Via saat ini. 2
E
Bila tuhan benar-benar ada, Via berdoa anak yang dilahirkannya memiliki orang tua utuh, walau bukan bersama Sean. Dia hanya ingin anaknya tumbuh dengan ayah, siapa pun itu.
Melihat foto Sean kembali, Via sadar dia butuh setidaknya satu figura untuk anak dalam kandungan. Seburuk apa pun, anak itu butuh tahu siapa ayahnya, dan Via tidak sejahat itu melukiskan sosok Sean seolah penjahat dalam cerita. Bukankah, pria itu memiliki banyak kebaikan dalam kenangan mereka, dan Via akan menceritakan satu per satu saat anak itu lahir kelak. Dia berhak tahu sosok ayahnya.
Next Chapter