Bab 108
Bab 108
Bab 108 Kesadarannya
Suaranya melembut, saking lembutnya sampai hampir tidak terdengar.
Bahkan Vivin pun tahu betapa buruknya alasannya ini. Dia sudah mengintip. Dia hampir tidak percaya bahwa dia sudah melakukan sesuatu yang sangat buruk.
Saat melihat betapa pucatnya wajah Vivin, Finno merasakan sayatan di hatinya.
Sial.
Apa aku terlalu kasar padanya? Apa aku sudah menakutkannya?
Finno tidak mau terdengar marah padanya, tetapi saat kalung itu hampir jatuh ke lantai, amarah terasa memuncak di dadanya.
Kalung itu memiliki banyak arti baginya. Jika saja hancur berserakan rusak…
Finno tidak bisa membayangkan hal itu.
Sadar bahwa dia tidak akan bisa berbicara tenang dengan Vivin sekarang ini, dia pun membalikkan badan dan berjalan menuju lemari pakaian. Dia keluarkan kemejanya dan bergumam, “Ada sesuatu yang harus kuurus di kantor. Aku ke luar sebentar. Kau tidur duluan saja.”
Vivin tersentak.
Apa Finno tidak mau melihatku?
Dia tidak bisa berkata apa-apa selain menggigit bibir bawahnya sambil mengangguk.
Finno berganti pakaian dengan cepat. Tanpa mengeringkan rambutnya, dia duduk di atas kursi roda dan meninggalkan kamarnya.
Muti sedang membersihkan rumah ketika melihat Finno turun. Dia kaget menatapnya.
“Tuan Normando, sudah larut malam. Kau mau ke mana?” Dia bergegas menghampiri. “Dan rambutmu! Kenapa basah? Cepat keringkan!”
Finno berhenti. Meskipun tampangnya masih tetap dingin, dengan tenang dia berujar, “Muti, ada sesuatu yang harus kuurus di kantor. Jangan lupa ingatkan Vivin untuk mengganti perbannya, ya.”
“Tentu saja, tapi…”
Belum sempat Muti menyelesaikan kalimatnya, Finno meluncur tanpa menatap ke arahnya.
Di kamar.
Seakan Vivin kehilangan jiwanya, dia berbaring di atas tempat tidur.
Rasa pedih terasa di tangannya. Pelan-pelan dia membuka balutan, memeriksanya dan ternyata lukanya benar-benar terkuak kembali.
Vivin tahu dia harus membersihkan lukanya lagi, maka dia mengambil kapas baru. Namun sayangnya, tangan kirinya tidak cekatan dan berulang kali menekan lukanya, dan membuat berdarah.
Air matanya jatuh. Dia tidak tahu apakah karena rasa sakit dari lukanya atau dari teguran tajam
Finno tadi.
Sepertinya kalung itu benar-benar berharga bagi Finno.
Vivin hanya memegang kalung itu di tangannya, tetapi Finno marah besar.
Tapi…Jahat sekali dia. Aku ini seorang manusia, masa aku kalah dengan sebuah kalung. Aku hanyalah seonggok debu di hati Finno.
Pikiran yang buruk itu muncul dalam benaknya, saking banyak sampai mengejutkan diri Vivin
sendiri.
Tak lama, dia tersenyum masam.
Vivin, Vivin. Kenapa Finno harus berpikiran bahwa kau itu lebih penting daripada kalung itu?Kalung itu sudah pasti pemberian dari mantan kekasihnya, Evelyn. Dia gadis yang sangat cantik. Bahkan sehelai rambutnya saja lebih cantik bila dibandingkan dengan keseluruhan dirimu. Wajar saja kalau kalung itu lebih berarti daripada dirimu. Di samping itu, bukankah kau begitu larut terbawa suasana akhir-akhir ini? Hanya karena Finno bersikap lebih manis, kau sudah lupa siapa dirimu. Berani sekali kau mengintip barang-barangnya tanpa izin!Kau terlalu percaya diri.
Seharusnya Vivin menyadari bahwa selain ibunya, tidak ada satu orang pun yang akan setulusnya menyayanginya di dunia ini.
Ayah kandungnya, Haris, dan Fabian, yang pernah berjanji akan selalu berada di sisinya. selamanya, ternyata hanya numpang lewat saja dalam hidupnya.
Bagaimana mungkin aku mengharapkan Finno memperlakukanku dengan istimewa?
Vivin sangat mengerti hal ini dibanding siapapun. Exclusive © content by N(ô)ve/l/Drama.Org.
Namun…Kenapa dadaku terasa sangat sesak?
Vivin menaruh tangannya di atas dadanya. Rasanya sakit dan tidak nyaman seperti diremas oleh kekuatan tak terlihat.
Apa karena…
Sebuah pikiran terlintas di kepalanya. Tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu di hatinya yang bisa lagi dia abaikan.
Apa karena.. Aku jatuh cinta pada Finno?
tidak
Malam itu, Finno tidak kembali.