Bab 87
Bab 87
Bab 87
Samantha tersenyum sangat manis, namun tidak ada pancaran kebahagiaan di matanya.
“Teman Asta adalah temanku, saya yakin kita akan memiliki hubungan yang baik.”
Samara dan Samantha adalah saudara kembar, Samantha mengatakannya dengan samar, namun menurut Samara, maksud dari perkataannya adalah dia sedang menjelaskan kepemilikannya
terhadap Asta.
Mendengar itu, Samara teringat kembali saat dia berasa di toko buku dan kopi tanpa mengenakan topeng wajah, dan Asta mengiranya sebagai Samantha.
Saat itu…..
Asta mendorongnya ke sudut rak buku dan menciumnya dengan ganas.
Ciuman panas yang membuat bibirnya merah dan bengkak hingga berdarah.
Sekarang, mendengar Samantha berkata begitu, bibir Samara hanya bisa cemberut, matanya yang bulat memancarkan kemarahannya.
“Antara kamu dan Asta...”
“Saya dan dia.” Ketika membahas tentang Asta, Samantha tersipu malu: “Selama beberapa tahun berada di sisi Asta, kamu adalah wanita pertama yang berada di kediaman Costan.”
Samantha memang Samantha. Content property of NôvelDra/ma.Org.
Sebuah tembok yang gelap ini menghambat hubungan antara dirinya dengan Asta, sudah cukup bisa membuat kepalanya pecah!
Namun, siapa Samara?
Dia mencibirnya dan menatap Samantha yang ada di hadapannya: “Kalau begitu, saya sangat penasaran, kamu bisa keluar masuk dari kediaman Costan, kenapa Asta masih belum menikahimu?”
“Kamu–-”
Sebelum dia selesai berbicara, Samara berkata lagi: “Tidak tahu berapa lama kamu berada di sisinya? Cinta itu juga ada kadaluarsanya.
Jika di undur terlalu lama, kedua belah pihak mungkin sudah lelah, dan pernikahan mungkin tidak bisa dilaksanakan lagi saat itu. Kamu harus segera bergegas untuk menikah dengan Asta, Sccepat mungkin.”
Perkataan Samara menusuk hati Samantha, ckspresinya pun berubah kaku,
Lima tahun.
Lima tahun penuh.
Dia mengganti identitasnya menjadi Samara, menolak tawaran–tawaran besar yang tidak terhitung jumlahnya, hanya karena dia ingin menikah dengan Asta.
Namun sampai saat ini... keinginannya belum terwujud.
“Apakah kamu sedang sarkas padaku?” tanya Samantha, ekspresinya berubah.
“Berbicara kasar dan menertawakan orang lain disebut sarkasme. Bukankah apa yang saya katakan itu kenyataan?”
Samara membalas tatapan Samantha, sudut mulutnya menyeringai, dan tatapan matanya penuh kesombongan.
Ingin menantangnya?
Mengira dia masih seperti gadis enam tahun lalu yang datang dari pinggiran kota dan bodoh itu?
Dulu dia bodoh, dia mengabaikan tanda–tanda dan memberi kesempatan pada Samantha untuk mencelakainya, namun sekarang, tidak mungkin lagi!
Samantha merasa kesal, namun dia masih bisa mengendalikan emosinya dan menenangkan dirinya.
“Nona Samara, bagaimana jika.. kita langsung saja ke inti pertemuan kita.” Samantha mengeluarkan map berwarna kuning dari atas sofa, lalu menyerahkannya kepada Samara.
“Ini adalah:
“Seperti yang kamu katakan, saya belum menikah dengan Asta, tapi cepat atau lambat, saya akan menjadi Nyonya Costan. Saya tidak percaya bahwa di dunia ini ada persahabatan antara pria dan wanita, saya tidak ingin kamu berada di dekat Asta.”
Jadi, kamu ingin saya meninggalkan Asta dengan memberiku sejumlah uang?” Samara menjilat sudut mulutnya lalu bertanya.
“Kamu sebagai seorang dokter forensik seharusnya tidak menghasilkan banyak uang, kan? Lima miliar, saya akan membayarmu sebesar itu untuk berhenti berhubungan dengan Asta” Samantha berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Jika kurang, saya masih bisa menambahkan lagi.”
Samara tidak pernah membayangkan bahwa percakapan antara ibu mertua kaya raya dan menantu miskin akan terjadi padanya dan Samantha.
Meskipun Asta telah menciumnya dan pernah memberikan kehangatan padanya, namun pria yang pernah disentuh oleh Samantha...
Bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta padanya?
Trauma lima tahun yang lalu, mungkin juga telah menghilangkan kemampuannya untuk Bonentai seseorang
Melihat kening Samara mengerut, Samantha berkata pelan lagaimana menurmu? Penawaranya udah tidak rendah.”
Samara mengangat tangan kecilnya, mengambil map berisi dokumen yang diserahkan oleh Samantha: “Oke, tapi saya mau sepuluh miliar, tidak kurang sepeser pun.”
Next Chapter