Bab 72
Bab 72
Bab 72
Samara terus berjuang, namun Asta menahannya dengan kuat.
Telapak tangan pria itu besar dan kuat, mengepal tangannya yang kecil dengan erat. This content © Nôv/elDr(a)m/a.Org.
Telapak tangan Asta yang menempel di telapak tangannya, memberikan sebuah perasaan lembut dan hangat yang tidak bisa dijelaskan.
Sejak ibunya meninggal, dia sudah sangat lama tidak dipegang begitu erat.
Saat ini......
Samara yang memandang wajah Asta dari samping, tiba–tiba ada sebuah kehangatan mengalir di hatinya.
Tindakan kasih sayang Asta terhadap Samara terlihat secara langsung para guru wanita.
“Tadi... apa yang terjadi barusan, apakah kalian melihatnya?”
“Pak Asta sangat baik terhadap wanita jelek itu, dia bahkan tidak marah ketika bibirnya di sentuh oleh wanita itu, dan ketika menatapnya, dia menatapnya dengan penuh kasih sayang!”
“Benar! Menurut kalian, apakah dia pacar Pak Asta? Yang akan menjadi ibu dari tuan kecil dan nona kecil?”
Para guru wanita itu tidak bisa mempercayai perkataan mereka, namun apa yang baru saja terjadi membuat mereka semua berpikir demikian.
Sampai terdengar suara guru seni bernama Monica yang memecah kebingungan mereka, “Tidak mungkin!”
“Ibu Guru Monica, kenapa tidak mungkin?” Seorang guru wanita mempertanyakan perkataan Monica: “Tidakkah kamu melihatnya?”
“Saya mengatakan ini justru karena telah melihatnya, tadi itu adalah sebuah
kecelakaan sehingga bibir wanita itu dan bibir Pak Asta bertemu. Lagian, apakah menurut kalian orang dengan status seperti Pak Asta dan dengan penampilannya, bisakah dia menyukai wanita yang seperti tadi?” ujar Monica dengan tatapan mata yang penuh dengan penghinaan terhadap Samara.
Jika wanita itu cantik, maka Asta mungkin akan menyukainya.
Tapi masalahnya...
Wanita ini benar–benar tidak cantik, bahkan sedikit jelek.
Penampilan para guru wanita yang ada di sini juga tidak lebih baik dari pada Samara.
Pada saat itu, semua wanita segera mengubah kata–kata mereka.
“Selera Asta tidak terlalu berat, bukan?”
“Wajah yang penuh bintik itu. Butuh keberanian yang besar untuk bisa menciumnya dengan tulus.”
“Menurutku... wanita ini mungkin memiliki banyak rencana! Menurutmu, bagaimana bisa sekebetulan itu, bisa begitu saja saling menempelkan bibirnya? Ini jelas menunjukkan bahwa dia mengambil keuntungan dari pria seperti Pak Asta.”
“Ck ck ck, sekarang di dunia ini... bahkan wanita jelek pun bisa melakukan apa saja untuk menang.”
Mendengar ucapan itu, Monica menggertakkan giginya dengan erat, dan matanya penuh dengan kebencian.
Bukankah dia lebih cantik dari wanita tadi?
Dia ini hanya terlalu pendiam, dan juga tidak bisa mampu mencari cara untuk mendekati Asta, sehingga dia terus melewatkan kesempatan untuk mengenal Asta.
Mengingat bahwa wanita yang tidak secantik dia bisa mencium bibir Asta,
membuat Monica semakin menggerakkan giginya dengan kebencian,
Selama ini dia selalu merasa rendah ini, dan merasa dirinya tidak cukup baik dan pantas untuk Asta, namun sekarang, dia malah dinodai oleh wanita jelek itu.
Tidak peduli siapa wanita jelek itu, dia harus memberinya pelajaran!
Samara dan Asta berdiri di depan jendela kelas yang terbuat dari kaca transparan untuk memperhatikan Oliver dani Olivia bersekolah.
Ini adalah kali pertama dia melihat dua anak kecil yang imut itu bersekolah,
Melihat bagaimana mereka mendengar dan berbicara, sudut mului Samara terangkat.
Namun, tiba–tiba dalam sekejap.
Dia teringat saat kehilangan bayi kembarnya.
Hatinya seperti disayat oleh pisau belati yang langsung mengeluarkan darah segar.
Jika mereka masih hidup, mereka seharusnya seumuran dengan Oliver dan Olivia, kan?
Seperti Oliver dan Olivia, mereka seharusnya sudah duduk di bangku kelas taman kanak–kanak, kan?
Dia melahirkan mereka, namun tidak merawat mereka dengan baik.
Maaf, bayi–bayiku.
Rasa sakit itu menyebar seperti api di dadanya, semakin lama semakin membuatnya merasa tidak nyaman.
Saat ini, semakin Samara memandang Oliver dan Olivia, dia semakin teringat pada bayi kembar itu.
Matanya semakin memerah, hingga akhirnya pengelihatannya menjadi
kabur, dan bulir air mata pun menetes.
Saat Samara sedang merasa kesakitan hingga dia tidak bisa menahan diri, Asta menarik pergelangan tangannya dengan erat, lalu menariknya ke depan tubuhnya.
Pandangan mata yang tajam dari pria itu menggelap dan mendalam, dan dia berkata dengan serius: “Samara, kamu menangis.”
Next Chapter