Bab 170
Bab 170
Bab 170
Alfa sangat emosional ketika dia berbicara.
Sebuah kata ‘mati’ benar-benar membangkitkan semua kemarahan yang telah ditekan Asta beberapa hari ini.
Asta mengarahkan tinjunya kepada adiknya sendiri, mata tajamnya menyipit : “Alfa, siapa yang mengizinkanmu berkata seperti itu? Siapa yang mati? Samara tidak mati, dia hanya hilang dan akan kembali!”
Alfa menjilat sudut bibirnya yang bengkak, dan kehilangan senyumnya.
“Kak, kamu ini sedang membohongi orang lain atau sedang membohongi dirimu sendiri?”
Sebagai respon, Asta kembali melayangkan tinjunya kepada Alfa, dan membuatnya terhuyung beberapa langkah.
“Kak, kalau mau menipu orang, mau saya menutup mulut itu tidak sulit….” Alfa merasa kesakitan hingga wajahnya berkerut, “Tapi apa kamu bisa membohongi dirimu sendiri? Hidup mau melihat orangnya, mati mau melihat jasadnya?
Tenggelam di air yang begitu deras, walaupun sudah mati juga belum tentu jasadnya bisa ditemukan!”
Tepat saat Asta hendak melayangkan tinjunya lagi, tangannya yang mengepal erat tiba-tiba direnggangkan.
“Alfa, silahkan percaya pada keyakinanmu, tapi jangan menghalangiku.” Asta menoleh pada Wilson dan berkata, “Bawa dia pergi dari sini, lalu beritahukan kepada tim darat, dia tidak boleh naik ke kapal lagi.”
Alfa terkejut tapi tidak merasa heran.
Dia adalah adik kandungnya, bagaimana dia bisa bersikap seperti ini padanya?
Gila! Gila!
Asta benar-benar sudah gila dibuat wanita ini!
Perkataan Alfa sama sekali tidak membuat Asta goyah, dia percaya dan akan terus percaya kalau Samara akan kembali.
Kediaman Samara.
Mata Javier sudah membengkak karena menangis.
Dia yang masih kecil tidak bisa membantu apapun dalam pencarian dan penyelamatan, dan hanya bisa menunggu kabar di rumah.
Saat ini dia merasa sangat kesal kenapa dirinya masih berusia 5 tahun, kenapa dia belum cukup kuat untuk bisa melindungi keselamatan ibunya?
Dia ketakutan dan tidak berdaya.
Terlepas dari komitmen Asta padanya, dia masih takut kehilangan Samara.
Pada saat ini–
Bel pintu berbunyi.
“Ting tong—-”
Suasana hati Javier masih buruk, dia menyeret kakinya dan berjalan untuk membuka pintu.
“Siapa?”
Namun pada saat pintu dibuka, tubuh kecil Javier langsung membeku, seolah-olah dipaku di tempat.
Wanita didepan pintu mengenakan kaus bunga kuning, dengan dua kepang di bagian belakang kepalanya, jelas-jelas itu adalah pakaian paling sederhana namun wajah kecilnya yang putih dan mulus, mata coklatnya yang dipenuhi dengan senyuman.
“Sayangku, saya pulang.”
Kalau yang ada dihadapannya ini bukan Samara, lalu siapa?
Javier bergegas menghampiri dan memeluk paha Samara dengan bahagia dan tidak berhenti menangis.
“Ibu, selamat datang kembali!”
“Kamu benar-benar mengagetkanku, apa kamu tahu saya sangat takut sesuatu benar-benar terjadi padamu, saya takut saya dan Xavier akan menjadi anak yatim piatu!”
Samara tentu tahu kalau putranya sangat bergantung padanya.
Melihatnya menangis seperti ini, hatinya merasa sangat hangat namun juga merasa bersalah.
“Kamu tidak memberitahu Xavier kan?”
“Belum.” Javier menangis terisak-isak, “Saya saja sudah seperti ini, saya takut Xavier akan lebih terpukul lagi, jadi belum memberitahunya.”
“Baguslah kalau begitu.”
Samara merasa lega, dan menggendong Javier masuk kedalam kamar.
Samara menarik beberapa lembar tisu dan menyeka air mata dan ingus yang sudah menodai wajah tembem Javier.
“…ibu, GPS yang saya pasangkan padamu kenapa tidak memancarkan sinyal?” Javier bersendawa, “Apa kamu benar-benar tenggelam?” Text content © NôvelDrama.Org.
“Iya, saya dilempar kedalam sungai, dan hampir mati.”
Mengingat orang-orang yang turun tangan padanya, mata coklat Samara
dilintasi cahaya dingin.
“Tapi untungnya Tuhan masih kasihan padaku, dan tidak membiarkanku mati, setelah tenggelam meraih sebuah rantai jangkar yang ada di sungai dan tidak lama kemudian saya diselamatkan oleh perahu nelayan.”